12 Tahun Tragedi Trisakti dan Penegakan Hukum

Media Monitoring Service
Cubic Centra Indonesia (CCI)
http://www.cc-indonesia.com

Reformasi dan demokratisasi yang berlangsung di Indonesia sudah memasuki usia ke-12 tahun. Sejak reformasi, struktur dan sistem ketatanegaraan banyak berubah.

Di antaranya, pembatasan masa jabatan presiden maksimal 2 periode.

Tak hanya itu, presiden dan wakil presiden sampai tingkat bupati dan wali kota juga dipilih secara langsung oleh rakyat. Hal yang sama juga berlaku untuk para wakil rakyat di DPR dan DPD. Yang paling terasa tentu saja kebebasan pers dan kebebasan menyampaikan pendapat dan berserikat.

Dalam berbagai kesempatan. Presiden Susilo Bambang Yudhoyono sering kali menyatakan, kebebasan harus berbarengan dengan penegakan hukum dan kepatuhan terhadap hukum. Praktiknya, masih menjadi perdebatan. Seriuskan Presiden, dan seluruh aparat penegak hukum melaksanakan hukum?

Mari kita kembali saja reformasi. Dua belas tahun lalu atau 12 Mei 1998, situasi Indonesia khususnya Ibu Kota Jakarta sedang genting. Demonstrasi mahasiswa untuk menuntut reformasi dan pengunduran diri Presiden Soeharto kian membesar tiap hari. Dan kita tahu, aksi itu akhirnya melibatkan rakyat dari berbagai lapisan.

Peristiwa itu diliput dan disiarkan secara luas oleh media massa. Melalui televisi, mereka yang berada di pelosok negeri pun bisa menyaksikan perkembangan aksi mahasiswa. Demikian juga dengan masyarakat internasional.

Salah satu momentum penting yang menjadi titik balik perjuangan mahasiswa adalah peristiwa yang menewaskan empat mahasiswa Universitas Trisakti, Elang Mulia Lesmana, Heri Hertanto, Hafidin Royan, dan Hendrawan Sie.

Mereka ditembak aparat keamanan saat melakukan aksi damai dan mimbar bebas di kampus A Universitas Trisakti, Jalan Kyai Tapa Grogol, Jakarta Barat. Aksi yang diikuti sekira 6.000 mahasiswa, dosen, dan civitas akademika lainnya itu berlangsung sejak pukul 10.30 WIB.

Beberapa aksi simbolik menandai demonstrasi ini. Di antaranya penurunan bendera Merah Putih menjadi setengah tiang sebagai pertanda keprihatinan terhadap kondisi bangasa. Puas melakukan orasi, siang harinya pintu kampus dibuka dan mahasiswa melakukan long march menuju Gedung MPR/DPR.

Di sinilah awal mula tragedi kemanusiaan itu. Ketika sampai di depan kantor Wali Kota Jakarta Barat, mahasiswa dihadang oleh aparat keamanan bersenjata pentungan dan tameng.

Negosiasi sempat berlangsung antara perwakilan mahasiswa dengan Komandan Kodim Jakarta Barat Let Kol Amril dan Wakil Kapolres Jakarta Barat Mayor Herman. Mahasiwa meminta agar mereka diizinkan melanjutkan long march.

Permintaan itu tak dikabulkan. Aparat beralasan, aksi itu akan menimbulkan kemacetan lalu lintas dan menimbulkan kerusakan. Akhirnya, sekira pukul 16.45 mahasiswa mengalah dan bergerak kembali ke kampus, setelah dibujuk Dekan Fakultas Hukum Universitas Trisakti Andi Andojo.

Namun, pada saat akan kembali ke kampus, tiba-tiba aparat mengejar, memukul dan menembaki mahasiswa dengan gas air mata, peluru karet, dan peluru tajam. Akibatnya, empat mahasiswa tewas dan puluhan lainnya luka-luka. Ironis, karena mereka justru diserang pada saat akan dan beberapa di antaranya sudah kembali ke kampus.

Tewasnya keempat mahasiwa tersebut tidak mematikan semangat rekan-rekan mereka. Justru sebaliknya, kejadian itu menimbulkan aksi solidaritas di seluruh kampus di Indonesia. Apalagi, pemakaman mereka disiarkan secara dramatis oleh televisi. Keempat mahasiswa itu menjadi martir dan diberi gelar pahlawan reformasi.

Puncak dari perjuangan itu adalah ketika Soeharto mengundurkan diri sebagai presiden pada Kamis, 21 Mei 2008.

Sayangnya, walaupun sudah berlalu 12 tahun, penuntasan kasus hukum kasus Trisakti, dan juga Semanggi I dan Semanggi II tetap tidak selesai. Mereka yang dulu menentang reformasi dan bertangggungjawab terhadap tewasnya mahasiswa, tetap melenggang tanpa pernah dihukum. Bahkan, kini turut menikmati hasil reformasi itu sendiri.
sumber

0 Response to "12 Tahun Tragedi Trisakti dan Penegakan Hukum"

Post a Comment

Powered by Blogger