Program Patrialis, Melawan Lupa Atau Mengajak Lupa?

Media Monitoring Service
Cubic Centra Indonesia (CCI)
http://www.cc-indonesia.com

Perjuangan terhebat kita adalah perjuangan melawan lupa. Mungkin itu pula salah sebab bangsa ini terkenal sebagai negara yang tidak pernah selesai dalam hal menuntaskan daftar panjang pelanggaran HAM di masa lalu yang sebagian besar dilakukan sistematis oleh negara.

Mulai dari pembantaian ribuan manusia pasca 1965, hingga dalam konteks saat ini, peristiwa 12 tahun lalu, penembakan terhadap mahasiswa Trisakti Jakarta yang berbuntut kerusuhan bernuansa etnis.

Mereka, mahasiswa Trisakti yang tewas tertembak peluru tajam aparat, Hendriawan Sie, Elang Mulia Lesmana, Heri Hertanto, Hafidin Royan, kemudian dinobatkan menjadi Pahlawan Reformasi. Namun, gelar pahlawan semata tidak membuat keadilan akan tegak. Konon, kabarnya lebih dari empat orang mahasiswa yang tertembak mati. Namun, tak pernah ada data akurat soal korban. Yang pasti ratusan mahasiswa saat itu jadi korban kekerasan negara dan dibawa ke RS Sumber Waras.

Kejadian hari ini 12 tahun lalu di Trisakti memicu kerusuhan lebih luas. Aksi damai mahasiswa yang dibubarkan dengan peluru tajam berakibat pembakaran dimana-mana, penjarahan, dan akhirnya yang terburuk, sejumlah perempuan diperkosa atas nama kebencian ras. 13-14 Mei 1998, Jakarta benar-benar lumpuh.

Hari itu merupakan puncak dari huru-hara di Jakarta.Tim Gabungan Pencari Fakta Tragedi Mei mencatat, 288 korban meninggal, 101 korban luka, 92 perempuan menjadi korban perkosaan, dan ribuan rumah rusak terbakar. Kerugian fisik diperkirakan mencapai Rp 2,5 triliun.

Kini 12 tahun berlalu, selain program reformasi yang terkubur namun memori akan tragedi meredup. Dilupakan negara dan rakyatnya, tentunya terkecuali keluarga korban.

Berbicara tragedi Mei, tak lepas dari bayangan akan konspirasi. Angkatan Bersenjata Republik Indonesia menjadi sorotan kalau kita bicara konspirasi. Saat suasana tegang dan mencekam Ibu Kota di pertengahan Mei 1998, tepatnya 14 Mei, hampir semua perwira tinggi teras ABRI tidak berada di Jakarta. Menteri Pertahanan Keamanan/Panglima ABRI Jenderal TNI Wiranto pergi ke Malang untuk
menjadi inspektur upacara serah terima Pasukan Pemukul Reaksi Cepat (PPRC).

Letjen TNI (Purn) Sintong Panjaitan dalam biografinya "Sintong Panjaitan: Perjalanan Seorang Prajurit Para Komando" yang ditulis oleh Hendro Subroto, mempertanyakan keberadaan ABRI saat kemanan memburuk di Mei 98.

Jenderal Wiranto di bukunya bertajuk "Bersaksi di Tengah Badai", yang diterbitkan tahun 2003 menyebutkan soal kepergiannya ke Malang sebagai Panglima TNI ke Malang untuk timbang terima PPRC atas permintaan Panglima Kostrad Letjen TNI Prabowo. Panglima ABRI Jenderal Wiranto memboyong jenderal-jenderal penting ke Malang untuk menghadiri sebuah acara peralihan Komando Pengendalian Pasukan Pemukul Reaksi Cepat di tengah suasana Jakarta rusuh? Tidak ada satupun unit militer yang mengendalikan api dan amuk massa 13-14 Mei. Polemik ini pula yang menjadi bahan bantah membantah antara Prabowo dan Wiranto sebelum akhirnya mereka "berdamai" di Pilpres 2009.

Namun ada yang menarik dari kesimpulan tim peneliti Tim Gabungan Pencari Fakta dan Komnas HAM soal kerusuhan Mei bahwa "ada orang-orang berbadan tegap dan berambut cepak" yang berada di titik-titik lokasi rusuh massa. TGPF menyebut keterlibatan provokator yang berpakaian preman, berambut cepak. Mereka pun kadang berkamuflase dengan pakaian sekolah. Mereka seakan didatangkan bergerombol dan dihilangkan saat kerusuhan tercipta.

Hingga saat ini semua dugaan dan kecurigaan menyisakan kebingungan. Bak hilang ditelan kasus-kasus korupsi mutakhir, tragedi Mei tak jua menemukan titik terang setidaknya soal siapa yang bertanggung jawab atas terjadinya kerusuhan dan kasus-kasus penganiayaan di kerusuhan Mei.

Tidak hanya kasus kerusuhan Mei 1998, kasus penculikan dan penghilangan paksa 1997/1998 juga diabaikan pemerintah, sejumlah kasus pelanggaran HAM berat, Tanjung Priok 1984, Talangsari 1989, Trisakti, Semanggi I dan Semanggi II 1998/1999, semua samar.

Terkait dengan 12 tahun Tragedi Mei 1998, Menteri Hukum dan HAM Patrialis Akbar mengatakan, pihaknya akan memberikan kompensasi terhadap keluarga korban. Yakni, memberikan kesempatan kerja kepada keluarga korban di institusi yang dipimpinnya asalkan memungkinkan dari faktor usia. Patrialis juga mengatakan, lebih baik bangsa ini fokus pada rekonsiliasi. Kalau terus berpikir lagi untuk membongkar siapa pelaku yang bertanggung jawab ini akan terjadi kegaduhan politik.

Pernyataan Patrialis melegakan atau malah menuai kegeraman? Lebih baik kita tanyakan pada mereka yang merasakan pedihnya kehilangan orang-orang terkasih atau mereka yang menjadi korban langsung dari kebiadaban manusia yang terjadi di 13-14 Mei.

sumber

0 Response to "Program Patrialis, Melawan Lupa Atau Mengajak Lupa?"

Post a Comment

Powered by Blogger