Teroris, musuh bersama

Media Monitoring Service
Cubic Centra Indonesia (CCI)
http://www.cc-indonesia.com

Lima jasad tersangka kasus terorisme yang tewas tertembak saat penangkapan di Jl. Mayjen Sutoyo, Cililitan, Jakarta Timur dan Desa Cikampek Timur, Kabupaten Karawang, Jawa Barat, dalam sepekan ini menambah kuat keyakinan kita bahwa paham radikalisme masih tertanam dalam kehidupan sementara masyarakat kita.

Mengapa paham itu sulit dihilangkan? Dan apakah dengan tindakan represif aparat keamanan (Densus 88 Polri) keberadaan jaringan terorisme yang bertujuan memerangi Amerika dan antek-anteknya atau tujuan lainnya itu dapat diputus habis? Jawabnya sulit! Mengapa sulit? Sebab, akar permasalahannya tidak pernah tersentuh oleh pemerintah. Paham radikalisme bisa lahir dari permasalahan sosial yang terjadi di setiap negara, terutama bila pemerintah di negara itu tidak berpihak pada rakyat kecil sehingga kemiskinan tumbuh subur. Namun paham ajaran tertentu yang esktrim, menganggap aliran paling benar, atau munculnya negara kapitalis sebagai penjajah terhadap ekonomi bangsa lain juga dapat menimbulkan radikalisme berbalut agama. Tentu masih banyak permasalahan lainnya yang menyebabkan paham radikalisme dan jaringan terorisme tumbuh subur di sebuah negara, termasuk Indonesia belakangan ini.

Hemat kita semua elemen masyarakat harus meningkatkan kewaspadaan, jangan sampai lengah. Kepedulian kita dapat mencegah masuknya teroris di suatu kota maupun desa. Saatnya kita sadar bahwa terorisme adalah musuh bersama kita maka kita punya kewajiban ikut memberantas jaringan terorisme.

Semula dengan tewasnya sejumlah tokoh teroris seperti dr Azhari, Noordin M. Top, Imam Samudra, Amrozi, Dulmatin dll diharapkan jaringan terorisme akan tiarap. Sebab, mereka sudah kehilangan para pemimpinnya yang punya jaringan luas. Nyatanya tidak. Muncul jaringan baru, seperti terungkap dua bulan lalu di Aceh. Mereka mengadakan latihan perang-perangan dengan senjata lengkap. Untunglah aparat keamanan segera mendapatkan informasi dari masyarakat, sehingga jaringan terorisme di Aceh dapat segera ditangkap. Meski tidak seluruh anggotanya terjaring, namun sejumlah anggota kelompok teroris itu berhasil ditangkap hidup-hidup di Aceh. Hasil pengembangan kasus, petugas berhasil menangkap pelarian anggota teroris daeri Aceh ketika berupaya melarikan diri di Kota Medan dan P. Jawa.

Pekan lalu, kembali aparat keamanan kita berhasil membongkar jaringan terorisme. Kalau sebelumnya aparat baru bertindak setelah terjadi aksi pengeboman obyek vital, seperti Hotel JW Marriott, Kedubes Australia, lokasi komunitas warga asing, kali ini sebelum beraksi jaringan tarorisme itu dapat dilacak dan dilakukan penggerebekan. Tentunya prestasi aparat Polri dari Densus 88 patut diberi apresiasi tinggi, sekalipun korbannya banyak yang tewas. Padahal, kalau mereka dapat ditangkap hidup-hidup akan jauh lebih bermanfaat untuk mengorek keterangan lebih jauh keberadaan mereka sehingga jaringan terorisme di Indonesia dapat dibongkar sampai ke akar-akarnya.

Saat target sasarannya di pinggir Jalan Mayjen Sutoyo, Cililitan, polisi menembak mati tiga tersangka yang salah satunya bernama Maulana. Saat hendak ditangkap, Maulana melawan dan sempat mengeluarkan sepucuk senjata Revolver sehingga polisi menembak mati sasarannya. Dua kawan Maulana yang ikut terluka dalam penangkapan itu akhirnya meninggal saat dalam perjalanan ke RS Polri, Kramat Jati.

Maulana dan dua kawannya merupakan buronan Polri dalam kasus latihan militer di Jantho, Aceh Besar, Februari 2010. Maulana juga menjadi buronan Polda Kaltim karena diduga terlibat jual beli senjata api ilegal di wilayah itu. Sedangkan di Cikampek, polisi menembak mati dua tersangka yang salah satunya bernama Saptono. Ia adalah adik kandung Jaja, salah satu tersangka terorisme di Aceh yang tewas tertembak di depan Polsek Lampeung, Aceh Besar, Maret 2010. Jaja telah lama menjadi buron Polri karena diduga terlibat bom depan Kedubes Australia, 2004.

Sedangkan di Cikampek, polisi menemukan barang bukti berupa satu senjata laras panjang serta ribuan butir amunisi berbagai jenis dan ukuran. Baik Saptono dan Maulana pernah menjadi tahanan Malaysia berdasarkan Undang-Undang Keamanan Dalam Negeri (Internal Security Act) selama dua tahun karena dianggap membahayakan negara. Keduanya pernah mengikuti latihan kemiliteran di Filipina.

Kini keberadaan jaringan terorisme terus diendus aparat keamanan. Dengan tertangkapnya sejumlah anggotanya tentu Densus 88 dapat memperoleh informasi lagi sehingga dapat melakukan pengejaran segera, sebelum mereka mengungsi mencari lokasi baru.

Hanya saja perlu kita ingatkan agar dalam melakukan penangkapan Polri/Densus 88 hendaknya tetap mengedepankan asas praduga tak bersalah. Artinya, tidak boleh sembarangan melakukan penangkapan sehingga dikhawatirkan orang tak bersalah ikut teraniaya (korban). Aturan hukum harus tetap dijadikan pegangan, dan kalau terbukti tidak terlibat dalam jaringan terorisme maka mereka yang sudah kadung ditangkap harus segera dibebaskan.

sumber

0 Response to "Teroris, musuh bersama"

Post a Comment

Powered by Blogger