Teknologi Dalam Memberantas Korupsi
Media : Kontan | | Date : Sunday, July 25, 2010 |
Page : 23 | | Tone : Neutral |
Position : Right Center | | Section : Surat & Opini |
Timbulnya selisih paham dan perdebatan yang sampai hari ini belum juga terselesaikan, tentang tugas dan wewenang pemberantasan korupsi antara Kepolisian, Kejaksaan Agung, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dan masyarakat sebenarnya tidak perlu terjadi. Kenyataan ini makin diperuncing dengan penemuan-penemuan pelanggaran hukum di sektor perpajakan, ditambah dengan perdebatan perlunya menerapkan sistem pembuktian terbalik dan asalusul keuangan/aset seseorang.
Kebetulan penulis dulu bertugas sebagai jaksa yang empat kali turuti serta dalam usaha melawan dan menindak korupsi. Yang pertama, tahun 1957 silam yang digerakkan oleh TNI AD. Mulanya berjalan lancar, akan tetapi dipolitisasi dengan adanya intervensi dari kepala negara. Kesempatan kedua, tahun 1962 dan kesempatan ketiga pada tahun 1967 silam, itupun tidak berjalan karena ternyata diarahkan hanya sebagal suatu sandiwara politik belaka. Dan akhirnya, pada tahun 1999 lalu, akan tetapi lembaganya dibubarkan oleh Mahkamah Agung atau MA.
Sampai akhirnya seakan-akan ada suatu kompetisi di antara lembaga hukum negara yang mengarah kepada berbagai usaha kegagalan. Kepolisian, Kejaksaan, dan KPK sampai hari ini masih tetap menggunakan konsep strategi hukum yang lama, seperti konsep, arah, serta aplikasi pada tahun 1957, 1962, 1967, 1999, dan selanjutnya.
Mekanisme anti korupsi
Padahal, persoalannya sekarang ada, lah, bagaimana memberdayakan tenagatenaga dan keahlian-penguasaan teknologi cyber dan kemampuan masyarakat antikorupsi, yang berdedikasi dan berkomitmen begitu tinggi melawan korupsi yang sudah mengakar kokoh di masyarakat luas. Penerapan mekanisme antikorupsi yang masih diterapkan berupa suatu usaha luar ke dalam (outside in), yakni di mana alat-alat penegak hukum, seperti Kepolisian, Kejaksaan, dan KPK tampak kurang. Bahkan seperti tidak mencapai sasaran secara optimal, walau, pun begitu banyak tenaganya telah dicurahkan secara maksimal.
Mengapa tidak mulai memanfaatkan konsep mekanisme yang dapat lebih efektif, dengan menggunakan kemajuankemajuan di bidang ilmu, teknologi, dan hukum di bidang cyber? Masyarakat (koruptif) sendirilah yang diwajibkan melakukan tindakan pengendaliannya, yakni dari dalam keluar (inside-out), dengan menerapkan bentuk, konsep, dan sistem yang mau tidak mau akan melibatkan lembaga-lembaga negara di hilir yang sudah berfungsi. Misalnya, Kementerian Keuangan, Imigrasi, Sekretariat Negara, dan Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK).
Kegiatan inside-out ini dilakukan lewat dua mekanisme hukum:
Pertama, Deklarasi Statuter atau Statutory Declaration (SD). Kegiatan hukum ini diarahkan kepada, pertama-tama, bagaimana menghentikan korupsi dan sekaligus melakukan penindakan hukumnya. Caranya, adalah kepemilikan aset atau dana seseorang diteliti sendiri melalui mekanisme SD dalam bentuk, kewajiban setiap orang menyerahkan dan memasukkan data ke dalam komputer mengenai daftar harta kekayaannya yang dimiliki suami-istri, anak-menantu, cucu, dan kakek-nenek.
Selama ini, pengusutan tindak pidana korupsi dilakukan melalui mekanisme dan diterapkan oleh alat-alat penegak hukum sesuai dengan hukum yang berlaku, yakni outside-in. Cuma, ada kalanya tidak terjaminnya kredibilitas dan reputasi alat-alaepenegak hukum tersebut. Melalui SD, setiap orang diwajibkan memeriksa diri sendiri melalui pengisian daftar kekayaan atau aset miliknya masing-masing, dan bentuk daftar isiannya disiapkan secara baku oleh pemerintah. Harapannya, disusul oleh undang-undang khusus (lex specialis).
Kalau ada aset atau dana yang tidak didaftarkan atawa dilaporkan, maka asset tersebut walaupun terdaftar resmi di lembaga-lembaga negara tertentu, misalnya, Badan Pertanahan Nasional (BPN) dan bank atas nama mereka, bukan miliknya. Dengan demikian, aset atau .dana tersebut secara hukum kembali masuk dalam pemilikan negara (public domain) dan akan dikelola oleh semacam Balai Harta Peninggalan.
Mareva Injuction
Aturan main ini tidak hanya diterapkan bukan pada pejabat-pejabat negara eselon tertentu, contohnya, paling rendah golongan III. Tetapi juga kepada setiap warga negara yang ditetapkan oleh Kementerian Keuangan melalui Direktorat Jenderal Pajak sebagai wajib pajak. Kegiatan tersebut dilakukan melalui sistem komputerisasi. Data-data pelaporan harta kekayaan setiap urutan dikirimkan melalui komputer yang tersedia ke alamat pusat lembaga yang berada langsung dalam administrasi kepresidenan atau Sekretariat Negara. Sehingga, setiap saat presiden dan kepala lembaga yang diberi wewenang mengelola data-data tersebut dapat mengikuti setiap perkembangan. Yang kemudian dikoordinasikan dengan lembaga-lembaga lainnya yang juga berada dalam koordinasi pemerintah.
Kedua, Mareva Injuction (MI), yakni penuntutan atau litigasi melalui pengadilan negara asing terhadap dana atau aset seseorang warga negara yang diparkir dan disimpan di negara lain. MI merupakan mekanisme semacam asset tracing yang dilaksanakan di luar negeri melalui proses pengadilan. Di mana tersangka, tertuduh, terpidana, atau seseorang tertentu diperkirakan memiliki harta benda, berupa deposito maupun dalam bentuk lainnya.
MI adalah kepanjangan tindakan hukum dalam suatu proses hukum di pengadilan dalam negeri, yang menghendaki penyitaan terhadap aset milik tersangka, tertuduh, terpidana termasuk warga negara yang ada di luar negeri (comon law: attachment). Mekanisme tersebut akan menarik dana-dana milik perorangan di luar negeri untuk dikembalikan ke Indonesia melalui proses hukum, yang kemudian duit tersebut diinvestasikan pada proyek-proyek yang tercantum dalam daftar prioritas negara. Pemulangan dana itu akan sangat bermanfaat bagi pembangunan dan masa depan kesejahteraan nasional Indonesia.
Perlu dicatat, suatu ironi, usulan ini sebetulnya pernah dibahas secara tuntas oleh KPK, yang akhirnya menyampaikannya dalam bentuk konsep undang-undang kepada Pemerintah.
0 Response to "Teknologi Dalam Memberantas Korupsi"
Post a Comment