Starbucks: Berangkat dari Nol

Media Monitoring Service
Cubic Centra Indonesia (CCI)
http://www.cc-indonesia.com

Media : Internet
Website : http://economy.okezone.com/rea...
Tanggal : Monday, May 31, 2010
Penulis : CYRILLUS HARINOWO HADIWERDOYO
Tone : Neutral

DEWASA ini kita bisa mengagumi begitu banyak perusahaan yang berkembang besar dalam skala global. Starbucks, misalnya, merupakan contoh menarik.

Perusahaan yang menjual kopi ke seluruh dunia secara langsung ke pelanggan tersebut dewasa ini seakan sudah menjadi bagian dari gaya hidup. Bukan hanya orang-orang Amerika Serikat, melainkan juga orang-orang Jakarta dan kota-kota lain di Indonesia. Saat ini Starbucks bisa dikatakan menjadi salah satu perusahaan kopi terbesar di dunia. Jumlah tokonya berkisar 17.000-an di seluruh dunia. Dari jumlah tersebut sekitar dua pertiganya berlokasi di Amerika Serikat, selebihnya menyebar di hampir 50 negara di dunia. Di luar Amerika Serikat, Starbucks memiliki cabang terbanyak di Kanada yaitu sekitar 1.000 toko. Sedangkan di Jepang, toko mereka telah mencapai jumlah sekitar 800-an.

Dengan melihat skala perusahaan yang ada saat ini, kita tentu berpikir bahwa perusahaan tersebut memang sudah besar dari awalnya. Oleh karena itu, dengan melihat Starbucks sebagai contoh, tentunya akan timbul pikiran betapa besar modal yang diperlukan untuk membangun kerajaan kopi yang sedemikian besar tersebut sehingga sangat sulit bagi pengusaha UMKM kita untuk bisa berkembang seperti itu. Dugaan itu salah, sebab Starbucks sungguh-sungguh berangkat dari nol. Saya berkesempatan mengunjungi kios pertama Starbucks. Kios itu terletak di jalan Pike Place Nomor 1912. Sebuah kios kecil yang hanya berukuran sekitar 12 meter persegi dengan kondisi yang jauh dari mewah. Ini tentunya kontras dengan keadaan saat ini di mana Starbucks umumnya berlokasi di malmal dan seakan tertuju pada kalangan kelas menengah.

Kios tersebut berdiri di tahun 1971, jadi hanya sekitar 39 tahun yang lalu dan berlantai kayu. Lokasinya persis berseberangan dengan pasar tradisional Seattle, Amerika Serikat, yang menjual ikan basah, sayur-sayuran, bunga dan sebagainya. Satu hal yang patut dicatat dari Starbucks, perusahaan tersebut sejak awal memang memiliki visi untuk menjadi perusahaan kopi premium, sehingga pada akhirnya bisa masuk ke pasar kelompok kelas menengah yang dewasa itu juga berkembang cepat di Amerika Serikat dan bagian dunia lainnya. Perkembangan secara luas di seluruh Amerika Serikat berjalan di tahun 1990-an, sedangkan di seluruh dunia terutama berkembang di tahun 2000-an. Saya masih ingat pada saat bermukim di Washington DC melihat banyak anggota masyarakat yang setiap pagi menenteng secangkir kopi Starbucks di tangannya untuk dibawa ke kantor.

Itulah saatnya Starbucks menjadi bagian dari gaya hidup masyarakat Amerika Serikat. Saya yang sebetulnya bukan merupakan kelompok penggemar kopi, pada akhirnya sering mengunjungi kios tersebut di Amerika Serikat sehingga menjadi sebuah kebiasaan yang saya teruskan pada saat saya kembali bermukim di Indonesia. Starbucks bahkan menjadi sebuah meeting place untuk bertemu secara informal atau bahkan untuk urusan bisnis. Meski bukan dalam skala dan industri yang sama, Bank Central Asia juga memiliki kemiripan sejarah dengan Starbucks. Bank yang berawal dari Semarang di tahun 1957 tersebut sejak awal memiliki sebuah nama yang mengandung visi besar. Bayangkan, sebuah bank kecil di Semarang dengan nama Bank Central Asia, tentunya sebuah beban nama yang terlalu berat.

Kendati demikian, ternyata nama besar untuk sebuah bisnis yang baru berkembang tersebut membawa pemiliknya berpikir besar. Dari awal yang sederhana di Semarang, BCA kemudian mulai berkembang di Jakarta dan memperoleh pemicu yang penting dari deregulasi perbankan pada 1988. Deregulasi tersebut memudahkan bank-bank di Indonesia untuk berkembang besar dalam waktu singkat, sehingga dewasa itu muncul komitmen pemiliknya untuk membuka 100 kantor cabang utama di seluruh Indonesia. Dewasa ini BCA memiliki kantor cabang yang semakin mendekati angka 1. 000 dan didukung pula oleh jaringan delivery channel yang lain, yaitu ATM yang jumlahnya sudah melampaui angka 6. 000 buah, mesin gesek atau istilah teknisnya electronic data capture (EDC) untuk membantu para pedagang (merchant) dalam pembayaran transaksi mereka.

BCA terakhir juga berhasil mengembangkan internet banking sebagai bagian dari delivery channel mereka dan bahkan juga mobile banking yang dewasa ini seakan bahkan melampaui bank-bank lain di kawasan ini termasuk juga di Australia. BCA juga mengembangkan instrumen untuk transaksi pembayaran berjumlah kecil melalui kartu Flazz BCA. Perkembangan yang terakhir ini pun akhirnya memunculkan suatu harapan baru untuk terus berkembang lebih cepat di tahun-tahun mendatang. Kartu debit maupun kartu kredit BCA dewasa ini menjadi sarana pembayaran yang sangat populer sehingga pada akhirnya BCA menjadi bagian dari gaya hidup masyarakat Indonesia.

Di sebagian masyarakat yang jumlahnya sudah mencapai jutaan, kartu BCA tersebut seakan harus selalu ada pada mereka. Ini mengingatkan kita pada iklan kartu American Express beberapa tahun lalu, Dont leave home without it. Jika saya menggunakan dua contoh Starbucks dan BCA, maksudnya bukanlah untuk mempromosikan produk mereka. Kedua perusahaan tersebut pada akhirnya menjadi suatu contoh konkret yang ada di depan kita, betapa suatu usaha yang berangkat dari nol pun bisa menjadi suatu kekuatan besar dalam perkembangannya. Starbucks, yang berangkat lebih akhir, bahkan memiliki kecepatan tumbuh yang sangat besar dalam percaturan bisnis global. Kedua contoh ini pada akhirnya diharapkan membuka wawasan para pengusaha Indonesia untuk berani mengembangkan diri sesuai dengan visi yang mereka miliki.

Saya yakin bahwa banyak pengusaha Indonesia yang memiliki talenta untuk itu. Tekad yang dimiliki oleh banyak pengusaha Indonesia tersebut pada akhirnya menjadi sumbangan besar bagi perkembangan Indonesia. Dalam sebuah artikel di International Herald Tribune minggu lalu yang berjudul Indonesia stands tall, terdapat optimisme yang besar yang dimiliki penulisnya tentang masa depan Indonesia. Dalam artikel tersebut, Indonesia dewasa ini berkembang menjadi produsen kelapa sawit dan pengekspor batu bara terbesar di dunia. Sementara kekuatan produk-produk industri lainnya yang kita miliki juga semakin lama semakin besar, terutama untuk kawasan Asia Tenggara.

Dalam tahun 2010 ini, Indonesia menjadi negara yang memiliki penjualan mobil terbesar di ASEAN, melampaui Thailand dan Malaysia yang selama bertahun-tahun menjadi negara dengan penjualan mobil nomor 1 dan nomor 2 di ASEAN. Indonesia bukan tidak mungkin akan mengikuti jejak Brasil yang dalam sepuluh tahun terakhir telah berhasil melipat-tigakan penjualan mobilnya di dalam negeri, sehingga menjadi negara keempat di dunia dalam penjualan mobil di dalam negeri, melampaui Jerman.

Starbucks berangkat dari nol dari kiosnya yang kecil di Pike Place nomor 1912 Kota Seattle untuk mampu menjadi perusahaan raksasa di industrinya. Saya yakin di tahun-tahun mendatang kita akan mampu melihat nama perusahaan Indonesia yang berkibar dalam kancah persaingan global. (*)

0 Response to "Starbucks: Berangkat dari Nol"

Post a Comment

Powered by Blogger