Perubahan Iklim dan Kondisi Cekungan Air Yang Kritis

Media Monitoring, Analysis and Tracking, Information System Consultant,
Software-Web Develoment and Maintenance,
Computer Network Supply and Installation, Purchasing Service,
Cakrajiya Ciptana (CCi)

Media : Sinar Harapan

Date : Thursday, January 28, 2010

Page : 10

Tone : Neutral

Position : Top-Right

Section : Opini


Isu perubahan iklim, meski pada tingkatan Internasional masih merupakan komoditas yang diperdagangkan (climate economy), kian hari kian berubah menjadi momok yang menakutkan. Curah hujan yang tidak menentu sebagai dampak perubahan iklim merupakan ancaman serius terhadap pembentukan air tanah yang pada tingkat kritisnya akan menghadirkan petaka bagi bagi semua orang-kaya atau miskin.

Sesungguhnya, berbagai penjelasan ilmiah tentang dampak perubahan iklim sudah lebih dari cukup. Misalnya, naiknya suhu bumi akibat emisi karbon dioksida ke atmosfer sudah dan akan menyebabkan naiknya permukaan laut. Hal ini akan mengancam keberadaan wilayah-wilayah sekitar pantai, menyebabkan meluasnya berbagai jenis penyakit, meningkatnya intensitas banjir dan tsunami, serta menurunnya cadangan air bersih. Hal itu akan bermuara pada kelangsungan hidup semua makluk hidup. termasuk umat manusia.

Lepas dari bencana-bencana lain yang sudah dan akan dihadirkan oleh persoalan bernama perubahan iklim ini, masalah ketersediaan air tanah sebagai sumber air bersih untuk dikonsumsi yang ikut terancam ini, patut mendapat perhatian serius. Ini karena tanpa pemahaman yang benar tentang proses pembentukan air tanah, masyarakat akan secara tidak sadar mempercepat proses kelangkaan air.

Tentang Rumah Air Tanah

Sesungguhnya, UU No 70 Tahun 2004 tentang Sumber Daya Air telah mengatur mengenai air tanah. Dalam Pasal 12 Ayat 2 disebutkan bahwa pengelolaan air tanah berbasis cekungan air tanah. Secara umum, haruslah dipahami bahwa cekungan air tanah adalah rumah air tanah yang hams dijaga agar air tanah yang terkandung di dalamnya, yang tidak habis dan akan terus ada secara permanen.

Prinsip umum dalam menjaga rumah air tanah ini adalah bahwa air tanah yang berada dalam cekungan air tanah tidak dapat diambil semua, melainkan hams ditinggalkan dalam jumlah tertentu agar tidak terjadi amblasan karena terdapat rongga-rongga yang tidak terisi air. Hal kedua, apabila air tanah yang terdapat di dalam rumah, air tanah itu diambil secara tidak proporsional, maka akan terjadi intrusi air laut yang membuat air tanah menjadi asin dan tidak dapat dikonsumsi.

Secara ekologis, cekungan air tanah ini terbagi dalam dua daerah, yakni daerah resapan/imbuhan (recharge area) dan daerah lepasan (discharge area). Dalam ilmu tata ruang, daerah imbuhan ini dikenal sebagai kawasan lindung, sementara daerah lepasan secara tek nis bisa dibudidayakan untuk keperluan langsung seperti irigasi dan lain-lain.

Pada masa lalu, pembentukan air tanah naik secara alami. Ketika terjadi hujan, rumah air tanah terisi dan naik secara gradual. Mekanisme pengisian rumah air tanah ini terjadi secara alami karena terdapat banyak daerah resapan yang berfungsi membentuk air tanah itu.

Sekarang, ketika recharge area menjadi berkurang karena dipakai untuk peruntukan yang lain, ditambah pola hujan yang tidak menentu karena perubahan iklim, pembentukan air tanah mengalami anomali dan curah hujan yang tinggi. Hal ini justru menimbulkan bencana banjir yang merisaukan semua pihak.

Isu Pertambangan Air

Terkait dengan pendayagunaan air tanah, perlu dipahami bahwa sumber air tanah itu terbatas. Untuk Kota Metropolitan Jakarta, misalnya, sekalipun potensi air tanahnya mencapai 40 juta meter kubik/tahun, tetapi bukan dengan sendirinya 40 juta tersebut bisa diambil. Ini karena pola pengambilan air tanah hams selalu memperhatikan prinsip ekologi bahwa pengambilan air tanah sebagian hams citinggalkan untuk mencegah intrusi air laut, di samping juga hams seimbang dengan pola pembentukan air tanah itu sendiri.

Kenyataan yang mengkhawatirkan adalah berkembangnya industri secara tidak terkendali, khususnya di daerah perkotaan, seperti hotel, gedung bertingkat, dan apartemen mewah. Kehadiran industri seperti ini tidak hanya menelan daerah resapan secara besar-besaran, tetapi juga menyedot air tanah dari rumah air tanah secara tidak proporsional.

Pola pengambilan air tanah yang sudah dapat dikategorikan sebagai aktivitas penambangan air tanah ini akan sangat mengkhawatirkan, khususnya karena hilangnya daerah resapan juga perubahan iklim yang berpengaruh pada pola hujan sepanjang tahun.

Penelitian yang perhah dilakukan menunjukkan bahwa penurunan muka air tanah pada tahap-tahap tertentu berjalan secara linear. Ketika dari cadangan 40 juta kubik diambi127 juta meter kubik selama satu tahun, muka air tanah turun secara linear dan akan pulih ke titik imbang semula.

Dengan hilangnya daerah resapan dan pola curah hujan yang tidak menentu, hanya dengan pengambilan air tanah yang lebih sedikit, itu sudah cukup membuat muka air tanah tumn secara drastis. Turunnya permukaan air tanah ini tidak hanya berakibat air tanah akan sulit diperoleh, tetapi juga membuat umur berbagai bangunan di atas permukaan tanah menjadi pendek.

Gedung dengan perkiraan umur bangunan 50 tahun, misalnya, hanya akan mampu bertahan 10 atau dua puluh tahun karena perubahan muka air di bawahnya. Hal ini, nampaknya belum sepenuhnya disadari oleh kalangan industri yang menambang air tanah secara berlebihan untuk keperluan proses produksi.

Jakarta Krisis

Jakarta mempakan contoh bagaimana ketidakseimbangan proses pembentukan air tanah itu terjadi secara tems-menems. Amblasan air tanah mulai terjadi sejak tahun 1978. Pengambilan air tanah secara berlebihan telah membuat rongga-rongga rumah air tanah menjadi kosong dan terjadi ketidakseimbangan antara muka air tanah dan permukaan laut.

Sekarang, pengambilan air tanah di Jakarta sudah melebih 50%. Dari 40 juta meter kubik sudah diambil sekitar 27 juta meter kubik, sehingga sudah masuk dalam kategori penambangan.

Kalau konclisi ini dibiarkan terus berlangsung, Jakarta akan segera masuk dalam kategori kritis. Ini karena sebetulnya pengambilan air tanah yang masih bisa ditoleransi hanya sekitar 40% dari total potensi air tanah. Di Jakarta, pengambilan air tanah sudah lebih dari 50%, mengakibatkan banyak sumber air tanah tercemar.

Jika kondisi ini dibiarkan terus, Jakarta akan mengalami musibah. Sumber air minum untuk Jakarta yang sekarang dipasok dari kanal timur Jatiluhur akan diperebutkan dengan Jawa Barat yang kebutuhan airnya semakin meningkat karena bertumbuhnya industri di sana. Sementara itu, Jakarta sendiri tidak mampu memenuhi kebutuhannya dari air tanahnya sendiri.

Kondisi Jakarta sendiri semakin cliperparah oleh ketidakseimbangan yang terjadi di daerah resapan airnya, yakni antara Depok-Jakarta Selatan. Tanpa ada perencanaan tata ruang yang teliti, perubahan iklim akan mempercepat proses terjadinya krisis air tanah di Jakarta. Di samping itu, rencana pembangunan subway di Jakarta akan memperparah situasi ini jika tidak terlebih dahulu diadakan penelitian tentang aliran air tanah.

0 Response to "Perubahan Iklim dan Kondisi Cekungan Air Yang Kritis"

Post a Comment

Powered by Blogger